Sebuah Kertas
Kopi yang dia pesan sama sekali tak tersentuh. Hampir setengah jam dibiarkannya kopi itu tetap pada tempatnya. Matanya yang berwarnya kecoklatan memandang kosong ke langit. Mungkin ia sedang menunggu sesesorang, pikirku.
Satu jam berlalu. Dan dia masih diam.
Jam dinding tua di sudut warung sedang bernyanyi merayakan pertemuan kedua jarumnya. Sudah hampir dua jam dia masih dengan pandangan kosong, perbedaannya adalah sekarang ia memandang kearah jalanan yang mulai sepi. Aku membawakannya kopi hangat sebagai pengganti kopi yang ia biarkan tak tersentuh.
Dia melihat kearahku. Dan masih tetap diam.
"Aku mencari sesuatu. Bisa kah kau bantu?"
Kali ini tatapannya tak lagi kosong. Suara pertamanya setelah dua jam membeku. Tangannya menggenggam gelas kopi. Balutan syal merah di lehernya sepertinya tak cukup menahan udara dingin. Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas dari tas merahnya. Ada sebuah gambar di kertas itu yang sama sekali tak asing.
Kertas itu adalah hadiah dari kakeknya. Dia hanya tinggal dengan kakeknya seorang. Tidak ada siapa-siapa lagi. Kakeknya selalu bercerita jika ia menemukannya, ia akan menjadi orang yang paling beruntung. Semua orang mencarinya, semua orang membicarakannya. semua orang tahu tentangnya, tetapi sedikit sekali diantara mereka yang benar-benar menemukannya.
"Apa kau pernah menemukannya?"
Aku diam.
Angin malam ini benar-benar menusuk hingga tulang. Mungkin pertanyaan itu terlampau tajam. Dia terlihat lelah, aku tak tahu sudah berapa lautan yang telah ia lewati hanya untuk mencarinya atau seberapa banyak jawaban salah yang membuatnya sulit untuk kembali bertanya. Aku tahu dia tahu bahwa tak mungkin menemukannyanya dimanapun.
Dalam kertas itu tergambar sebuah pintu. Pintu Hati.
2 komentar:
Perasaanku aja atau ini ada hubungannya sama tulisanku dan kalimat 'who the hell are you waiting for'?
Entahlah. Kamaren ada temen yang cerita kalo dia selalu aja susah buat pedekate. Terus kepikiran, mungkin orang yg di pedekatein belum ngebuka hatinya. Cuma itu kok.
Posting Komentar